Tradisi Hileyiye

 Prosesi Pelaksanaan Tradisi Hileyiya Pada Masyarakat Kota Gorontalo Hileyiya merupakan satu adat dan tradisi yang dilaksanakan oleh umat Islam di Gorontalo yang dalam pelaksanaannya berupa bacaan doa-doa untuk si mayit yang dilantunkan oleh umat muslimin agar si mayit mendapatkan pengampunan dari Allah swt. dan perlindungan dari siksa kubur. Selain itu, pelaksanaan tradisi ini sebagai cara menghibur keluarga yang ditinggalkan, meneguhkan keimanan dan keyakinan kepada Allah swt. bagi kaum muslimin yang hadir dalam acara tersebut (wawancara dengan Ismet Bade, 3 Juli 2013). 

Pada tradisi hileyiya terdapat pelaksanaan doa arwah, yaitu dimulai pada saat memandikan jenazah, mengkafani, menshalatkan dan mengantarkan jenazah ke tempat pemakaman. Selanjutnya dilakukan pembacaan doa dengan keyakinan bahwa hadiah doa tersebut dapat meringankan beban si mayit yang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya selama di dunia; dapat memudahkan si mayit dalam menjawab pertanyaan yang diajukan Malaikat Munkar dan Nakir; dilapangkan kuburan si mayit; dan memperoleh pengampunan dari Allah swt. (wawancara dengan Ismail Huntoyungo, 3 Juli 2013). 

Pelaksanaan hileyiya mulai dari memandikan jenazah, mengkafani, menshalatkan sampai mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Alquran (surah Yasin), tahlil, tasbih, tahmid, shalawat, berbagai dzikir dan doa-doa lainnya. Gemuruh tahlil dari lisan para peziarah bukan sekedar pemandangan yang asing ketika sedang memasuki sebuah rumah yang sedang berduka atau pemakaman di daerah Gorontalo, karena hal ini sudah menjadi sebuah tradisi yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Gorontalo. Mengenai doa arwah, yaitu membaca Alquran atau dzikir (tahlil) menurut Imam Syafi’i itu merupakan satu syarat mutlak dilakukan, karena sesungguhnya Allah swt. telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada RasulRasul-Nya. Apabila Allah swt. memperkenankan umat Islam berdoa untuk saudaranya yang telah meninggal dunia, dan berkah doa tersebut insya Allah akan sampai, sebagaimana Allah swt. Mahakuasa memberi pahala kepada orang yang hidup, maka Allah swt. juga kuasa memberikan manfaatnya kepada si mayit (Ats-Tsauriy, 2013). Sehubungan dengan pelaksanaan hileyiya pada masyarakat Kota Gorontalo pada prinsipnya tidak terlepas dari ajaran agama Islam. Tujuannya adalah untuk membentuk keyakinan dan keimanan oleh kaum muslimin, bahwa yang hidup pastilah akan merasakan kematian, sesungguhnya manusia akan kembali kepada Allah swt. dan hanya kepada-Nya memohonkan ampun untuk si mayat, serta keluarga yang ditinggalkan memperoleh kesabaran terhadap musibah yang diberikan Allah swt. (wawancara dengan H. Muhsin Pidu, 3 Juli 2013). Seorang muslim diperbolehkan membaca ayat-ayat Alquran untuk mayat di masjid-masjid atau di rumah mayat tersebut, dan setelah selesai Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo... Rizal Darwis 61 membaca, hendaknya memohon kepada Allah swt. agar si mayit itu diampuni dan dikasihsayangi berkat doanya sebagai tawassul kepada Allah swt. melalui bacaan Alquran yang dilakukannya. Menanggapi persoalan pembacaan doa arwah ini bisa dikategorikan mengandung unsur bid’ah, dan dalam menyikapi masalah bid’ah ini, para pemikir dan ulama Islam berbeda pendapat. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok pertama berpendapat bahwa ibadah sebagai praktik ritual telah ditentukan secara pasti dengan sumber hukum yang jelas. Ibadah yang tidak memiliki rujukan hukum atau tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. tidak boleh dilaksanakan, meskipun ibadah itu dipandang baik dan tidak menyalahi pokok-pokok hukum Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini di antaranya Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdi al-Salam, al-Qarafi, alGhazali, Ibn al-Atsir, dan al-Nawawi (al-Tuwaijiri, 2010: 18-34). Kelompok kedua berpendapat bahwa bid’ah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu bid’ah ḥasanah dan bid’ah ḍalâlah. Bid’ah ḥasanah adalah praktik ibadah yang tidak ada tuntunannya tetapi memberikan kemaslahatan pada umat, atau tidak menyalahi prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, sedangkan bid’ah ḍalâlah adalah praktik ibadah yang menyalahi prinsipprinsip ajaran Islam dan tidak memberikan nilai kebaikan bagi masyarakat. Pendapat kedua in masih memberikan toleransi pada pelaksanaan ibadah yang mengandung unsur bid’ah selama itu bid’ah yang ḥasanah. Pendukung pendapat ini di antaranya adalah al-Syathibi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnu Rajab al-Hanbali, dan al-Zarkasyi (al-Tuwaijiri, 2010: 18-34). Terlepas dari pandangan di atas, prosesi adat hileyiya pada masyarakat Kota Gorontalo terdiri atas beberapa tahap, yaitu: Pelaksanaan Pelaksana dari hileyiya adalah para imam, tokoh agama, tokoh adat serta para pegawai syara lainnya. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan beberapa responden bahwa yang menjadi pelaksana adat doa arwah, yaitu: imam (wawancara dengan Musna Daluta, 4 Juli 2013); pegawai syara (wawancara dengan Masi Adam, 4 Juli 2013); imam dan pemangku adat (wawancara dengan Ronal Tobamba, 4 Juli 2013); bilal/syara. (wawancara dengan Usman Daluta, 5 Juli 2013). Peranan integratif yang dimainkan imam, pemangku adat, pegawai syara, bilal/syara dalam mengemban misinya pada sebuah tradisi/ ritual, sejatinya merupakan manifestasi dari suatu kearifan yang tinggi, yakni kearifan dalam menerapkan metode dakwah yang mengindahkan faktor kondisi lingkungan yang dominan, yaitu struktur sosial masyarakat dengan pendekatan adaptasi kultural. Artinya bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan agama dan budaya pada masyarakat daerahnya, dan memiliki kemampuan dalam melaksanakan tradisi tersebut. Persiapan Menjelang pelaksanaan adat hileyiya ada beberapa alat dan bahan yang perlu disiapkan, seperti polutube (pedupaan), bara api, totabu (dupa), air secangkir, batu nisan, kain putih dan bakohati (tempat/kotak kecil) yang di dalamnya terdapat uang dan kue-kue yang kemudian didoakan setelah itu diberikan kepada peziarah (wawancara dengan Zakaria Taha, 5 Juli 2013). Selain itu dalam pelaksanaan hileyiya disediakan: (a) rica (merica/cabai) dan garam. Ini mengandung makna menyeberangi lautan atau dibatasi; (b) tiliayah maknanya menyenangkan hati; dan (c) nasi kuning, yaitu melambangkan hati semua manusia yang penuh kenikmatan (wawancara dengan Moh. Kiyai, 6 Juli 2013). Kesimpulan yang ditarik dari pernyataan para responden bahwa yang disiapkan menjelang pelaksanaan tradisi heliyiya adalah bara api, totabu (dupa), polutube (pedupaan), air secangkir, bakohati (tempat/kotak kecil berisi uang dan kue), batu nisan, nasi kuning, tiliayah, rica (merica/ cabai) dan garam. Kelengkapan alat dan bahan tersebut mengandung sebuah tujuan memberikan doa keselamatan bagi si mayit di akherat. Analisa Journal of Social Science and Religion Volume 22 No. 01 June 2015 halaman 57-68 62 Setiap prosesi adat terkandung tujuan, fungsi, dan makna dalam upacara tersebut. Adanya makna dalam upacara tradisional sebagai salah satu bentuk ungkapan budaya yang mempunyai fungsi sebagai faktor pemersatu seluruh lapisan masyarakat. Di dalam pelaksanaan hileyiya memaparkan adanya simbolik alat dan simbolik makanan; sesuatu yang memiliki makna dan komunikasi. Bentuk macam kegiatan simbolik dalam masyarakat Kota Gorontalo merupakan cara pendekatan manusia kepada Sang Khalik yang menciptakan, menurunkan, memelihara dan menentukan. Dengan demikian, simbolisme dalam masyarakat membawakan pesan-pesan kepada generasi-generasi berikutnya, agar selalu dilaksanakan dalam kaitanya dalam upacara adat dalam kaitanya dengan religi. Proses Adat Hileyiya Setelah tanggungjawab pelaksanaannya sudah berada di tangan pemangku-pemangku adat dan pegawai syara, maka kegiatan pun dimulai. Responden mengungkapkan bahwa prosesi adat hileyiya, yaitu dimulai dari malam pertama, ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh dan seratus hari. Acara ini dilaksanakan oleh pegawai syara’ sesudah magrib dan dipimpin oleh imam, selanjutnya imam segera memimpin acara tahlil, setelah selesai acara tahlil diakhiri dengan acara santap (wawancara dengan Herwin Panigoro, 6 Juli 2013). Diadakannya hileyiya atau doa arwah pada malam ke 40 hari dengan tujuan semoga arwah dari si mayat mendapatkan pengampunan dari Allah swt. dan kemudahan untuk diluaskan kuburannya lewat doa-doa yang dilantunkan oleh kaum muslimin dengan penuh keikhlasan dalam melaksanakan doa. Selanjutnya bacaan doa dihadiahkan pahalanya kepada si mayit (wawancara dengan Rahim Ibrahim, 7 Juli 2013). Selain itu, prosesi adat hileyiya atau doa arwah adalah diawali dengan pelaksanaan tinilo yang berlangsung mulai dari pukul Sembilan sampai menjelang usungan nisan diangkat ke kubur. Selanjutnya setelah undangan hadir, terutama para pemangku adat dan agama, maka baate mulai dengan acara pokok, pemberitahuan kepada kadli bahwa acara pokok akan dimulai, dan imam segera memimpin acara tahlil. Selesai tahlil dan dilanjutkan dengan acara santap (wawancara dengan H. Hamzah Usman, 7 Juli 2013). Proses pelaksanaan adat hileyiya tersebut juga disiapkan “didi” bukan dalam bentuk kain putih, tetapi bungkusan makanan yang disebut “toyopo” dan “bakohati toyopo” (wawancara dengan H. A. G. Thaib, 7 Juli 2013). Toyopo, yaitu tempat makanan yang terbuat dari daun kelapa yang masih muda, isinya adalah lima macam kue, serta nasi bungkus atupato (ketupat), kue tutulu (cucur), putito yilahe (telur rebus), dagingi tilinanga (daging goreng), dan lutu (pisang masak). Di atasnya ditancapkan sepotong buluh (bambu) kira-kira 30 cm yang berisi duduli (dodol) sebagai lambang batu nisan. Untuk toyopo pimpinan negeri, isinya untuk setiap jenis terdiri dari sepuluh buah, kecuali dodol hanya satu buah saja untuk bawahannya masing-masing jenisnya terdiri dari tiga buah saja. Untuk bakohati isinya sama, namun bentuknya persegi lima, bahan pembungkus terdiri dari dua macam warna kertas minyak, putih dan biru langit. Bagi pimpinan negeri termasuk kadhi, mendapat bakohati yang berisi uang satu real, dan berhak menerima minimal setiap orang empat bungkus. Untuk para bubato perangkatnya masing-masing memperoleh tiga bungkus, para undangan umum masing-masing memperoleh dua bungkus dan untuk anak-anak satu bungkus (Daulima, 2008: 70-71). Keberadaan kehidupan manusia di dunia ini adalah sebuah proses yang diawali oleh peristiwa kelahiran dan berakhir dengan sebuah kematian. Sebelum sampai pada kematian, manusia melalui berbagai peralihan dari tahapan satu ke tahapan yang lainnya dan melahirkan sejumlah implikasi psikologis keagamaan dan sosial yang disebabkan adanya perubahan sikap dan peran-peran yang dilakukan seseorang dalam melalui tahapan tersebut, dan dalam upaya menstabilkan implikasi psikologis tersebut, maka salah satunya dilakukan melalui institusi ritual yang berhubungan dengan masa peralihan tersebut. Tradisi Hileyiya: Persinggungan Antara Agama dan Tradisi pada Masyarakat Kota Gorontalo... Rizal Darwis 63 Ritual yang mengitari tahapan kehidupan manusia oleh Van Gennep disebut rites de passage (Koentjaraningrat, 1980: 75) atau Turner menyebutnya the rites of passages, terjadi proses pengolahan batin yang menyebabkan manusia mampu keluar dari berbagai konflik akibat adanya perubahan-perubahan yang dihadapi manusia dalam hidupnya (Turner, 1982: 94). 

Winangu mengemukakan bahwa tahapan tersebut terjadi sejak ia lahir, menjadi masa kanak-kanak, pendewasaan dan menikah, menjadi orangtua, hingga ia meninggal. Manusia mengalami perubahan-perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial budayanya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental (Winangu, 1990: 35). Kaitannya dengan ritual kematian ini, Turner membagi ritus dan upacara tersebut ke dalam tiga bagian, yaitu perpisahan (separation), peralihan/liminal (marge), dan integrasi kembali (aggregation) (Turner, 1982: 94). 

Jika mencermati proses adat hileyiya yang dimulai dari malam pertama, ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh, dan seratus hari dengan menyediakan berbagai macam persiapan. Acara ini dilaksanakan oleh pegawai syara’ sesudah magrib dan selanjutnya imam segera memimpin acara tahlil, setelah selesai acara tahlil dilanjutkan dengan acara santap. Tujuan hileyiya adalah untuk mengenang orang yang telah meninggal dunia, mendoakan si mayit, diluaskan kuburannya dan terpelihara si mayat di dalam kubur dari siksa neraka, serta permohonan kepada Allah swt. agar si mayit memperoleh ampunan dan rahmat-Nya.

Komentar